8/03/2007

Eragon vs The Lord of the rings


Semalem, entah knapa boriiing banget...Enaknya ngapain ya? Nonton dvd aja aaah...
Dan akhirnya pilihan jatuh pada film trilogy ERAGON. Tanpa bermaksud membanding-bandingkan, ngga tau knapa dari awal hingga akhir cerita saya selalu ingat dengan sebuah film trilogy yang sudah saya tonton sebelumnya yaitu THE LORD OF THE RINGS....

Nonton film dengan dalih ingin relaks dan refreshing, malah membuat dahi berkernyit.....Sekali lagi tanpa bermaksud membandingkan (tp akhirnya ngga tahan juga buat membandingkan. Hi.hi.) dengan THE LORD OF THE RINGS saya dapati suatu perasaan yang berbeda selepas menonton kedua film tersebut.

Seperti suatu kenangan yg tak terlupa selepas menonton THE LORD OF THE RINGS. Ketegangan demi ketegangan, rasa penasaran, gemes, gregetan dan rasa haru semua menjadi satu sepanjang menonton perjuangan Frodo dalam upaya mempertahankan sebuah cincin. Kalo boleh saya berkomentar layaknya ‘komentator film’ maka terdapat sebuah kesamaan pada kedua film tersebut. Kedua film tersebut mengawalinya dengan sebuah ‘benda’ yang bernyawa dan amat sangat berharga. Tokoh sentral dari kedua film tersebut ‘lagi-lagi’ digambarkan dengan sosok pemuda sederhana dan baik hati.

Sayangnya pada film ERAGON, Ed Speleers yang berperan sebagai Eragon masih terlihat sebagai sosok pemuda ‘modern’ dan terlalu ‘imut’ dan ‘rapi’ untuk ukuran seorang ‘penunggang naga’ yang mempunyai ‘kekuatan’ dan berasal dari keluarga petani.....Sepanjang film ERAGON ini, jarang sekali melihat Ed Speleers (Eragon) dalam keadaan ‘kotor’. Berbeda dengan THE LORD OF THE RINGS, saya merasa bahwa Elijah Wood yang berperan sebagai Frodo memainkan perannya dengan baik. Mungkin kita masih ingat bagaimana wajah si Frodo yg menggambarkan kesakitan yang ‘luar biasa’ akibat pengaruh kekuatan cincin tersebut.

Yang saya juga tidak mengerti dari film ERAGON ini adalah keberadaan Putri cantik Arya yang merupakan seorang ‘elf’ dan bertugas menjaga sebuah telur naga. Terkesan bahwa Arya disini seperti ‘tempelan’. Keberadaan sang putri ini menjadi keterpaksaan, padahal sebetulnya ia mempunyai peran yang cukup penting yaitu sebagai penjaga ‘telur naga’ (biasalaah..lagi-lagi daya tarik kaum hawa masih bisa dijual dalam sebuah flm). Alih-alih sebagai daya tarik, yang ada adalah suatu kejanggalan dengan kemunculan sang putri yang sangat singkat dan membuat Eragon jatuh cinta padanya hanya karena melihatnya dalam mimpi, kemudian sebelum film berakhir sang putri pun pergi begitu saja kembali ke kerajaannya. Coba anda bandingkan dengan kisah cinta Arwen (putri elf pada film THE LORD OF THE RINGS yg diperankan oleh Liv Taylor) dengan Aragorn. It’s touching..

Bahkan keberadaan Brom sebagai ‘penunggang naga’ senior yang akhirnya mati ketika berhadapan dengan Durza (sang Penyihir) jahat pun tidak membuat film ini mampu memancing emosi penonton (saya maksudnya..he.he). Dan bagaimana secara tiba-tiba Brom dapat berada di tempat Durza (dengan menunggang kuda?, menunggang naga?, ato pake sihir? Ngga jelas..) padahal sebelumnya ia berada di sebuah hutan yg amat jauh dari kediaman Durza. ...

Intinya, kalo saya melihat film ERAGON ini, saya merasa bahwa karakter dari masing-masing pemeran kurang terlalu dieksplore...Yang ada alur cerita film ini dibiarkan mengalir begitu saja..tanpa kejutan..tanpa penegasan karakter..tanpa permainan emosi. Tapi tetep saya menyukai ‘naga-nya’, setting lokasinya (dengan hutan-hutan, pegunungan dan air terjun yang indah), meskipun masih terlihat jelas kesan ‘animasi’ nya. Mungkin totalitas permainan justru dapat dilihat pada Sang Penyihir jahat Durza (Robert Carlyle). Lumayan berhasil !

Kalo anda masih ingat dengan THE LORD OF THE RINGS maka kita akan melihat hampir semua pemain mempunyai karakter yang kuat seperti Saruman yang digambarkan sebagai seorang yang licik dan jahat, Sam seorang pemuda kikuk yang baik hati dan sangat menyayangi Frodo.

Dan akhirnya kalo saya ditanya “Bagaimana perasaan mu setelah menonton film ERAGON?”, maka saya akan jawab : FLAT...’cukup menghibur’

No comments:

Post a Comment